Langsung ke konten utama

Gadis Sepertiga Malam


“Sudah terlambat untuk sampaikan kata sesal, kamu sudah terlanjur kehilangan. Akan susah jika kamu ingin menggapainya kembali”

Ia telah banyak kehilangan, separuh jiwanya rapuh terbawa pergi bersama kenangan yang menjadi sebuah ukiran abadi di dinding hatinya itu. Namun waktu terus berjalan, hingga kini ia telah menginjak usia kepala empat dengan menghabiskan sisa waktu selama itu memikirkan cara untuk mewujudkan kata seandainya yang ratusan ribu ditawarkan dalam benaknya itu. Ia rela membiarkan diri terus tenggelam dalam suram, karena sudah tak mampu menghapus setiap jejak dan goresan kisah  yang pernah ditinggalkan masa lalu.

 Kisah berawal seorang pria  parlente,  lama duduk di situ, di tempat perjumpaan pertama mereka. Hingga percakapan dimulai dengan cara yang tak biasa.

 “sedang apa?”

Gadis malang itu bernama Nia. Ia saat itu, melihatnya duduk di emperan jalan menuju jalan pembalap  di kota besar itu.

 “duduk” jawab pria tersebut singkat sambil menyulut sebatang rokok yang hampir tinggal putungnya saja.

 “ maaf boleh duduk disini?” Tanya Nia.

Ia meminta ijin agar pria tersebut tak merasa aneh jika tiba-tiba saja menawarkan diri duduk disampingnya tanpa permisi.

“ silakan” jawab singkatnya lagi.

Entah kenapa, cerita perkenalan yang dingin itu kemudian membawa mereka pada sebuah hubungan sejoli.  Sejoli ini kini menjadi sebuah catatan diary dalam benak Nia tua yang sekarang.  Karena masih tercatat jelas kisah awal mereka bertemu. Pria tersebut saat itu mengenakan baju kemejanya tampak begitu parlente.  Cukup menarik perhatian Nia kala itu. Sementara Nia belia dengan gaya urak-urakkan tak tampak feminim sama sekali.

Mirisnya, pria itu kemudian hilang bersama  pahitnya kalimat yang terucap keluar dari mulutnya.

 “siapa yang memintamu  mencintaiku?!. Aku tak pernah memaksa saat itu. Sekarang kamu minta aku untuk mempertanggung jawabkan hal sepele yang setiap pasangan di masa sekarang menganggap itu hal lumrah. Kamu picik sekali!”.

Sungguh sakit,  dan memang sakit sekali. Seorang gadis polos yang di koyak gratis olehnya dengan label sebuah cinta munafik lalu pergi dengan angkuh saat sari itu sudah tidak nikmat lagi.  Namun yang tersisa hanya Nia dengan perasaan dunia runtuh, saat  baru sadar ternyata manusia bisa saja berubah dan selama ini ia telah menjadi kerbau dicocok hidung oleh pria tersebut.

Kala itu, pria tersebut begitu mempesona baginya, hingga ia lupa diri bahwa  perlu membatasi diri. Masih tercatat dalam benaknya, kopi senja di sebuah kedai, hingga lupa waktu tak sadar telah sampai pada sepertiga malam.

Ingin kembali, sementara  takut diceramahi pemilik sebuah naungan. Galak, jika marah.  Satu kossan akan terbangun  jika mendengar suara menggelegarnya mengusir kucing peliharaaannya sendiri yang suka mencuri ikan di meja makan. Membayangkan diri menjadi seekor kucing yang harus menahan terhadap suara amarahnya yang menggelar itu, ia sudah tidak sanggup.

Hingga tawaran maut itu dilayangkan pria tersebut kepadanya untuk menghabiskan sisa dari sepertiga malam di tempat pria tersebut.

Waktu benar-benar tidak memberikannya pilihan lain hingga menyetujuinya.

 “kamu gimana?” Tanya pria itu.

Sebuah pertanyaan yang membuat Nia sadar dan baru berpikir ternyata  telah sampai pada sepertiga malam.

“pulang” jawab Nia singkat.

“kosmu?” Tanya pria itu lagi.

“ia, tapi sekarang sudah tengah malam, mau pulang sekarang udah nggak bisa. Ibu kos akan marah jika aku mengetuk pintu tengah malam” jawab Nia dengan perasaan gelisah.

 Sambil memikirkan cara untuk mengistrahatkan anggota tubuh yang telah berteriak  meminta diistrahatkan.

“tidur di kosku saja”ucap pria tersebut.

Karena terjebak kondisi akhirnya  Nia menyetujui tawaran tersebut.

Pertama kali dalam hidupnya  bersama seorang pria didalam sebuah ruang kamar. Memiliki ukuran 3x4, dengan kasur selebar dua bahu. Tampak sedikit berantakan sangat berbeda dengan penampilan pria itu yang terlihat sekarang, namun untuk ukuran kamar seorang laki-laki cukup rapi dinilai.

Canggung, itulah yang dirasakan saat itu.

Bersama malam yang terus larut dan hawa dingin yang terus berperang seperti meminta dan membius mereka untuk membagi kehangatan hingga kemudian tenggelam pada sepertiga malam.

Tak banyak yang di bahas setelah itu, namun sebuah kalimat  yang terucap oleh pria pada Nia saat itu.

 “aku sayang kamu”. 

Kalimat yang membius kemudian melekat dan menjadi sebuah kepercayaan dalam hati Nia. Sejak saat itu, Nia selalu merelakan kehilangan diri demi ego yang mulai muncul saat hubungan mereka berjalan 1 tahun.  Kemudian bertahan pada angka sepertiga,  hingga pria itu  pergi dan menghilang meninggal Nia sembilu.

Sejak saat itu, Nia selalu berdiam diri sambil merapalkan harapan pria itu kembali  meraih tangannya lagi. Nia menghabiskan sisa waktunya pada sebuah penantian  dengan harapan yang tidak membuahkan, hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan membawa kehampaan pada sebuah harapan yang sia-sia. Nia, gadis  malang dan bodoh bagiku. Menghabiskan sisa hidup dengan menantiku pria yang tak tahu diri sepertiku. Aku menyesali setiap waktu yang pernah aku sia-siakan membiarkan diri di benci olehmu. Ternyata saat aku sadar, kamu berbeda dengan sekian gadis dari berkelanaku. Pria yang pernah kau cintai mengembara dan  berantakan serta hanya bisa mengenang masa lalu.


                                                                                                    

                                                                                                                Penulis : Sukacita Elom

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyukaimu Bukan Selalu Memilikimu

Menyukaimu bukan berarti selalu memilikimu Itulah sepenggal lirik lagu yang kau kirimkan senja itu Kukira itu sapaan senja yang indah seperti senja sebelumnya Namun aku salah Ternyata itulah ungkapan yang mengisyaratkan  bahwa kisah kita berakhir senja itu Menyukaimu bukan berarti selalu memilikimu Lirik yang sangat indah untuk didengarkan  namun sakit jika dihayati Aku ingin protes Namun aku sadar kita berbeda Mungkin lagu itu menjadi isyarat bahwa seperti itulah kita Saling mencintai, menyukai tapi Tak mungkin saling memiliki  Seperti lagu itu aku ingin mengucapkan Terima kasih pernah menjadi rumah yang nyaman Menjadi teman tempat aku merajut kisah dan cerita Semoga kita saling mendoakan dan menguatkan Meskipun tidak perlu bertatapan  seperti senja-senja sebelumnya                                         M.A

SENANDUNG SORE

Jendela tampak bergetar di ikuti bunga di halaman terlihat mulai goyah dari tempatnya. Gemuruh dan bising atap seng sungguh memekak telinga. Tak cukup disitu, pepohonan meliuk liar dari kokohannya. Sungguh gila amarah alam kali ini. “Angin membawa kabar, begitu pula hujan” ungkapnya singkat. Dia tampak tenang, sorotan matanya terus mengarah ke jendela seperti tak ingin melepaskannya. Padahal di luar tak tampak terang, namun gelap terus bersahabat.   Indra perasa kulitku mulai peka pada hawa   sore ini. Dingin, sedingin wajahnya itu.   Garis kerutan di wajahnya,   menunjukkan usianya yang sudah tidak belia.   Ia terlihat santai, padalah kondisi di luar sangat buruk. Aku sendiripun, sudah takut bukan kepalang. “Kuharap, angin dan hujan ini membawa kabar baik bukan kabar buruk” batinku. Alam tampak ribut bersama dengan angin dan hujan yang saling berlomba-lomba membisingkan suasana. Sementara aku, masih dengan mataku menelisik setiap inci dari tubuh ...

Tangga Keabadian

Tidak terasa, mungkin sudah ribuan kali kaki ini menapaki setiap tangga yang ku sebut keabadian itu. Yah, abadi. Tertata rapi dihati  memori dan rasa setiap kali perjumpaan meski tak tahu kemana nanti raga ini dihantarkan oleh nasib untuk menjadi pelabuhan terakhir. 2022, menjadi tahun saksi bisu awal pertama kali aku menjejaki tempat ini. Tempat gundah dilegakan, namun rindu terus menggebu bila tak berjumpa kembali. Setiap tangga itu adalah kumpulan niat yang berusaha aku kumpulkan menjadi sebuah tekad hingga sampai pada sebuah keputusan, aku cerita. Pada seorang yang kuanggap rumah, ibu dan kekasih hati.  Mulut tak berkomat kamit, tapi batin tak henti sampai ujung cerita, terus mengoceh.  Diawali dengan memandang senyumnya yang manis, tampak kaku wujudnya namun rasanya seperti cappucino favoritku yang selalu bikin nagih untuk bersua dicecap rasa. Kakiku terus berirama bersama dengan kumpulan kisah yang ingin ku tumpahkan setiap kali kami berjumpa.  Aku ...