Langsung ke konten utama

KARE

"Lihat, itu anak mencuri lagi" kata seorang ibu melihat seorang anak laki-laki di eksekusi pemilik kebun karena mencuri mangga.
Sorotan matanya terlihat sedu. Seperti ada ketakutan dari eksepresi itu.

"Joni, kau kenapa mencuri lagi??"tanya pak Mamat pemilik Mangga itu.

 "Kau punya bapa dimana?? Mereka tidak ajar kau untuk tidak boleh curi ka?!!hah!!" Tanya pak Mamat dengan suara keras membentak joni. 

Hingga para tetangga yang lewat berhenti berjalan melihat anak tersebut di eksekusi dengan berlutut . Terlihat airmata penyesalan dari sela- sela matanya. Dia diam sambil menundukkan kepala, aku menyaksikan itu di balik pohon Sita. 

Joni memang terkenal mencuri. Tapi, aku penasaran kenapa dia tidak pernah berhenti untuk melakukannya. Aku merasa sedikit jengkel dengannya. Walau saat ini aku lihat ada airmata di pipinya, namun justru kesal karena setelah drama tersebut ia mencuri lagi setelahnya.

 "Sudah berapakali kau curi ini mangga?!" Tanya pak Mamat lagi.

 " Bapak bukan tidak kasih. Tapi, itu tidak baik. Kau selalu mencuri dan tidak pernah jera. Mana kau punya orangtua??. Kau tidak diajarkah??!!" Ucap pak Mamat dengan garang. 

Ku lihat Joni mengepalkan tangannya saat pak Mamat menyebut  orangtuanya. Satu kampung tahu, kalau orangtua Joni pergi merantau ke Malaysia semenjak dia berusia enam tahun. Sekarang dia tinggal dengan neneknya .

Joni memang terlihat seperti anak pendiam. Entah kenapa setelah dia mencuri Nenas di kebun milik ibu teres, dia menjadi membiasakan diri mencuri. Seperti tidak ada rasa malu yang tertanam dalam akal sehatnya. 

Ketika di Eksekusi dia menghabiskan dengan menangis. Setelah itu,  mencuri lagi.

 " Kasihan Joni" ucapku dalam hati.

"Apakah mungkin karena dia anak tanpa asuhan orangtua, sehingga menjadi seperti ini?" batinku lagi. Ada yang aneh dengan Joni. 

Suatu ketika aku melihatnya mencuri lagi. Itu tebu milik tetangga dekat rumahku, namanya ibu Mira. Tebu tetanggaku itu memang banyak, kebetulan juga  tetanggaku itu penjual tebu untuk penghasilan kehidupannya sehari-hari dengan menjualnya dipasar.

Aku sedikit merasa beruntung menjadi anak desa. Walaupun kami tidak kenal dengan namanya teknologi, namun kami tidak semiskin pengemis jalanan di kota yang suka meminta-minta. Hidup sederhana dan alakadarnya menjadi tradisi di kampungku. Kali ini aku bertekad untuk menegur Joni.
Aku diam-diam mendekatinya.

 "Jon, kau buat apa itu?. Kau mau curi tebunya tanta Mira ka?" Tanyaku sambil melototinya.

 "A...aa..,ehe..ee..emm. Doni, kau kenapa disini??" Dia menanyaiku balik sambil tergagap.  Mungkin kaget melihat kedatanganku tanpa menjawab pertanyaan ku.

 " Aih,..kau ini, bukannya jera tapi tetap curi lagi. Kau tidak malu ka?. Itu pak Mamat bilang kemarin, apalagi kau disuruh berlutut. Pake dilihat sama orang lagi". Jawabku memarahi dia.

 Kulihat dia hanya diam. Lalu, dia melihatku kemudian menjawab

"Doni, kalau saya mau pilih, saya juga tidak mau curi. Kau tahu toh, saya punya bapa sama mama pergi rantau tidak pulang-pulang. Saya punya nenek juga sudah tua. Tapi, sebenarnya saya juga tidak tahu kenapa saya jadi begini"ucapnya sambil menundukkan kepala sembari menggarukkan kepalanya yang tidak ada gatal sama sekali.

 Aku jadi bingung mendengar pernyataannya. Ada sedikit rasa penasaran dalam benakku. Kemudian aku balik bertanya padanya.

" Maksud kau, kau sebenarnya tidak mau mencuri ka?. Tapi, kenapa kau tetap saja mencuri??. Mana ada orang mencuri tanpa niatnya sendiri" tanyaku sambil mengerutkan  dahi. 

"Sudahlah, saya juga tidak tahu. Kalau begitu kau pulang sana. Saya mau ambil ini tebu,mumpung pemiliknya tidak lihat" jawabnya seperti mengusirku, tanpa ada rasa malu dan penyesalan dalam dirinya. 

"Joni, kau cukup sudah. Kasian kau nanti di pukul sama suaminya tanta mira. Kau tau to, suaminya kejam sekali!!. Pulang sudah!!. Mari makan tebu di rumahku saja." Ajakku sambil menarik dan menyeretnya. 

Aku memang bukan siapa-siapa Joni. Namun, aku kasihan sama dia karena di cap pencuri di desaku. Akhirnya kita tiba di rumahku. Aku memberikan tebu yang diberikan Tanta Mira kemarin. Setelah itu, kusuruh dia pulang kerumahnya. Begitu ibu tiba dirumah, ibu langsung memandangku penuh curiga.

 "Kenapa Joni kesini?? Mama lihat dia sepertinya barusan pulang dari sini." 

Aku mengiyakan pertanyaan ibuku.

"iya,Bu." Jawabku singkat. 

Pikiranku masih berkecamuk dengan pernyataan Joni bahwa mencuri sebenarnya bukan niatnya. Saking penasaran aku bertanya pada ibuku.

"Mama, tadi saya lihat Joni mau curi tebunya Tanta Mira, kita punya tetangga itu,untung saya lihat. Terus, saya bilang sama dia. Kenapa dia curi terus. Karena saya lihat dia itu tidak pernah jera mau curi. Itu kenapa mama ew?". Tanya ku sama ibuku dengan penuh penasaran.

Sambil membuat sayur ibu menjawabku
"begini, Joni itu pasti kena kare. Karena kemarin ibu Teres bilang dia ada simpan obat Kare di kebun nenasnya. Supaya tidak ada yang mencuri nenasnya dan dia bisa jera. Nah, mungkin dia kena itu obat ". Mendengar pernyataan ibu ,aku baru paham apa maksud dari ucapan Joni tadi.

Sepertinya Joni terkena jerat obat Kare dari ibu Teres. Karena sebelumnya juga aku mendengar kabar bahwa dia kedapatan oleh ibu Teres mencuri nenasnya namun di biarkan begitu saja.

"Kasihan si Joni"batinku. 

Kare  sebenarnya sejenis obat untuk menjerat pencuri dikampungku. Obat itu seperti mantra dukun yang di simpan pemilik kebun untuk menjerat pencuri. Namun, sayangnya, sang pencuri akan menjadi terkena kutukan untuk terus mencuri dan selalu kedapatan. Efek dari obat itu adalah sebuah eksekusi sanksi sosial yang dilakukan oleh pemilik kebun dan sang pencuri akan di permalukan dan dikucil serta akan selalu di cap pencuri. Biasanya,efek dari obat itu akan hilang apabila di cabut oleh dukun atau pemilik santed obat santed itu sendiri. 
Joni memang pernah mencuri tapi, hukuman berupa kutukan santed itu yang membuatnya menjadi seperti itu. Ibu Teres juga kelihatannya seperti sengaja dan tidak peduli tentang tulah dari kare pada Joni.sehingga Joni terus menjadi manusia pencuri. 

Dia tidak pernah berpikir bahwa tindakan yang dilakukannya itu, dengan menyimpan obat kare seperti itu, justru memberikan petaka bagi yang terkena jerat. Mungkin saja Joni pada saat itu hanya ingin mencoba buah Nenas itu tanpa berniat mencurinya. Kalau saja ibu teres tidak menyimpan obat itu di kebunnya, mungkin saja si Joni bukan menjadi pencuri seperti sekarang.

                    


                         Penulis: sukacita 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyukaimu Bukan Selalu Memilikimu

Menyukaimu bukan berarti selalu memilikimu Itulah sepenggal lirik lagu yang kau kirimkan senja itu Kukira itu sapaan senja yang indah seperti senja sebelumnya Namun aku salah Ternyata itulah ungkapan yang mengisyaratkan  bahwa kisah kita berakhir senja itu Menyukaimu bukan berarti selalu memilikimu Lirik yang sangat indah untuk didengarkan  namun sakit jika dihayati Aku ingin protes Namun aku sadar kita berbeda Mungkin lagu itu menjadi isyarat bahwa seperti itulah kita Saling mencintai, menyukai tapi Tak mungkin saling memiliki  Seperti lagu itu aku ingin mengucapkan Terima kasih pernah menjadi rumah yang nyaman Menjadi teman tempat aku merajut kisah dan cerita Semoga kita saling mendoakan dan menguatkan Meskipun tidak perlu bertatapan  seperti senja-senja sebelumnya                                         M.A

SENANDUNG SORE

Jendela tampak bergetar di ikuti bunga di halaman terlihat mulai goyah dari tempatnya. Gemuruh dan bising atap seng sungguh memekak telinga. Tak cukup disitu, pepohonan meliuk liar dari kokohannya. Sungguh gila amarah alam kali ini. “Angin membawa kabar, begitu pula hujan” ungkapnya singkat. Dia tampak tenang, sorotan matanya terus mengarah ke jendela seperti tak ingin melepaskannya. Padahal di luar tak tampak terang, namun gelap terus bersahabat.   Indra perasa kulitku mulai peka pada hawa   sore ini. Dingin, sedingin wajahnya itu.   Garis kerutan di wajahnya,   menunjukkan usianya yang sudah tidak belia.   Ia terlihat santai, padalah kondisi di luar sangat buruk. Aku sendiripun, sudah takut bukan kepalang. “Kuharap, angin dan hujan ini membawa kabar baik bukan kabar buruk” batinku. Alam tampak ribut bersama dengan angin dan hujan yang saling berlomba-lomba membisingkan suasana. Sementara aku, masih dengan mataku menelisik setiap inci dari tubuh ...

Tangga Keabadian

Tidak terasa, mungkin sudah ribuan kali kaki ini menapaki setiap tangga yang ku sebut keabadian itu. Yah, abadi. Tertata rapi dihati  memori dan rasa setiap kali perjumpaan meski tak tahu kemana nanti raga ini dihantarkan oleh nasib untuk menjadi pelabuhan terakhir. 2022, menjadi tahun saksi bisu awal pertama kali aku menjejaki tempat ini. Tempat gundah dilegakan, namun rindu terus menggebu bila tak berjumpa kembali. Setiap tangga itu adalah kumpulan niat yang berusaha aku kumpulkan menjadi sebuah tekad hingga sampai pada sebuah keputusan, aku cerita. Pada seorang yang kuanggap rumah, ibu dan kekasih hati.  Mulut tak berkomat kamit, tapi batin tak henti sampai ujung cerita, terus mengoceh.  Diawali dengan memandang senyumnya yang manis, tampak kaku wujudnya namun rasanya seperti cappucino favoritku yang selalu bikin nagih untuk bersua dicecap rasa. Kakiku terus berirama bersama dengan kumpulan kisah yang ingin ku tumpahkan setiap kali kami berjumpa.  Aku ...