Jendela tampak bergetar di
ikuti bunga di halaman terlihat mulai goyah dari tempatnya. Gemuruh dan bising
atap seng sungguh memekak telinga. Tak cukup disitu, pepohonan meliuk liar
dari kokohannya. Sungguh gila amarah alam kali ini.
“Angin membawa kabar,
begitu pula hujan” ungkapnya singkat.
Dia tampak tenang, sorotan
matanya terus mengarah ke jendela seperti tak ingin melepaskannya. Padahal di
luar tak tampak terang, namun gelap terus bersahabat. Indra perasa kulitku mulai peka pada hawa sore ini. Dingin, sedingin wajahnya itu. Garis kerutan di wajahnya, menunjukkan usianya yang sudah tidak
belia. Ia terlihat santai, padalah
kondisi di luar sangat buruk. Aku sendiripun, sudah takut bukan kepalang.
“Kuharap, angin dan hujan
ini membawa kabar baik bukan kabar buruk” batinku.
Alam tampak ribut bersama
dengan angin dan hujan yang saling berlomba-lomba membisingkan suasana.
Sementara aku, masih dengan mataku menelisik setiap inci dari tubuh pria tua yang di sampingku. Sarung songket
tampak melekat indah membungkus tubuhnya yang kurus itu. Mataku seakan betah
mengamatinya hingga tubuh kurus itu menghilang bersama kesadaranku. Aku baru
sadar, pria tua itu telah raib entah kemana. Sedangkan aku, baru ingat untuk
bertanya tentang siapa pak tua yang telah bercakap denganku barusan.
Tiba-tiba,tengkuk kurasa
mulai meremang pada sentuhan tangan dingin yang membuat bulu kudukku merinding
bersama suara senandung yang kudengar sekilas. Cukup mengerikan di kuping. Aku mulai berteriak, tapi mulutku seperti tak mampu bersuara.
Lengkingan yang ingin kulampiaskan tercekat di tenggorokanku.
“Lia..lia…, bangun!!” tampak
sayup di telingaku.
Sontak aku bangun bersama
keringat yang bercucuran di dahi dan pelipis bersama nafas yang tak beraturan.
Lalu, kutarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembusnya berlahan untuk ketenangan. Ku kumpulkan nyawa untuk berpikir jernih. Sambil memukul jidat aku tersadar.
“Astaga, ternyata mimpi!!”.
Aku baru ingat kata ibu,
“Di dangau tidak boleh
bersenandung apalagi sudah sore. Ada pak tua penunggu disana!!”
Padahal dangau itu
kegemaranku. Terutama tempat pelepas lelah menikmati angin sambil bersenandung
hingga menunggu terik menjadi senja yang bersahabat. Konon katanya, pak tua itu
meninggal karena suka bersenandung hingga tenggorokannya kering.
Penulis: Sukacita Elom.Cekonobo, 30 Januari.
Komentar